Peran gerakan mahasiswa sebagai “kekuatan moral” (moral force)



Peran gerakan mahasiswa sebagai “kekuatan moral” (moral force), yakni kalangan intelektual yang penuh idealisme dan berusaha mengoreksi berbagai penyimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Pada 19 April 1978, sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa, konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) diterapkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Joesoef, melalui Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978
Istilah pers mahasiswa sendiri telah dikukuhkan oleh tokoh-tokoh pers mahasiswa tahun 1950-an, seperti Nugroho Notosusanto, Teuku Jacob, dan Koesnadi Hardjasoemantri, ketika melahirkan Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI), Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI), yang keduanya lalu dilebur menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).
Cikal bakal pers mahasiswa Indonesia tampaknya adalah Majalah Indonesia Merdeka yang diterbitkan pada 1924 oleh Perhimpoenan Indonesia di Nederland. Indonesia Merdeka merupakan nama baru dari Hindia Poetra, majalah yang diterbitkan Indische Vereeniging, yakni perkumpulan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang studi di negeri Belanda dan didirikan pada tahun 1908. Indische Vereeniging kemudian berubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging pada 1922, dan berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia pada 1924
Sejarah mencatat, para mahasiswa Indonesia yang belajar di Nerderland ini kemudian pulang ke Tanah Air dan meneruskan perjuangannya bagi kemerdekaan negerinya. Mereka antara lain Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Nazir Datoek Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain
Selain di negeri Belanda, para mahasiswa Indonesia yang belajar di Cairo, Mesir, pada 1930 juga menerbitkan berkala bernama Oesaha Pemoeda. Redaksinya adalah Abdoellah Aidid dan Ahmad Azhari. Beberapa aktivis mahasiswa di Cairo ini setelah pulang ke Tanah Air banyak yang ikut memegang tampuk pemerintahan, atau aktif di bidang dakwah dan pendidikan.
Sementara itu, pergerakan pemuda di Jawa sendiri dalam tahun 1914 juga sudah memiliki suratkabar sendiri. Berkala bernama Jong Java, yang pada tahun 1920 sudah mencantumkan tahun penerbitan yang ke-6, dan dicetak sampai 3.000 eksemplar. Suatu jumlah yang tidak sedikit pada waktu itu. Motonya: orgaan v.d studerenden. Jong Java, Perserikatan Pemoeda Djawa, Madoera dan Bali dari Sekolah Pertengahan dan Tinggi.
Ketika para pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda dan politik mengadakan kongres di Jakarta pada 1928, lahirlah Indonesia Moeda, yang mencetuskan Sumpah Pemuda: Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Persatuan: Indonesia. Organisasi pemuda dari berbagai suku bangsa ini lalu menerbitkan Soeara Indonesia Moeda. Organisasi lain yang memiliki  onderbouw gerakan pemuda, seperti Moehammadiah (Pemuda Moehammadiah), Partai Sjarekat Islam Indonesia (Pemoeda Moeslimin), Nahdatul Oelama (Pemuda Ansor), masing-masing juga menerbitkan berkalanya
Di zaman pendudukan Jepang, karena represi yang sangat keras, praktis kiprah pers mahasiswa tak terdengar. Namun ketika kemerdekaan Indonesia baru diproklamasikan, para pemuda mempelopori terbitnya surat kabar pembawa suara rakyat Republik Indonesia yang baru lahir itu.
Karena jumlah pers mahasiswa yang tumbuh pesat, timbul keinginan untuk meningkatkan mutu redaksional maupun perusahaan. Atas inisiatif Majalah GAMA dan dukungan sejumlah majalah lain, diadakan Konferensi I bagi pers mahasiswa Indonesia di Yogyakarta pada 8 Agustus 1955, dihadiri wakil 10 majalah mahasiswa. Terpengaruh oleh organisasi di kalangan pers umum, konferensi itu menghasilkan dua organisasi: IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dengan Ketua T. Jacob dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) dengan Ketua Nugroho Notosusanto. Konferensi juga berhasil menyusun Anggaran Dasar IWMI dan SPMI, dan Kode Jurnalistik Mahasiswa.
Pada 1957, SPMI dan IWMI mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia I di Manila, yang diikuti wakil pers mahasiswa dari 10 negara. Konferensi itu menyetujui bahwa dalam negara yang sedang berkembang dituntut peranan lebih banyak dari pers mahasiswa untuk nation building. IWMI dan SPMI juga mengadakan kerjasama segitiga dengan Student Information Federation of Japan dan College Editors Guild of The Philippines.

Pada 16-19 Juli 1958, diadakan Konferensi Pers Mahasiswa Indonesia II, yang meleburkan IWMI dan SPMI menjadi satu: IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Jadi IPMI lahir pada akhir zaman Demokrasi Liberal dan awal Demokrasi Terpimpin, yang memberlakukan kontrol ketat terhadap kegiatan pers. Ini menjadi situasi yang sulit buat IPMI dan anggota-anggotanya yang menyatakan diri “independen.’ Padahal pers umum waktu itu banyak menjadi suara kepentingan kelompok atau partai politik.

Pers mahasiswa pun mengalami banyak kemunduran. Di Yogyakarta, Majalah Gajah Mada dan GAMA mati. Di Jakarta, Majalah Forum dan Mahasiswa berhenti terbit. Namun ada juga yang bertahan, seperti di Bandung: Arena (1959), Tjarano (1960), Pembina (Sospol Unpad, 1960), Harian Berita-berita ITB (1961), Gelora Teknologi (Dewan Mahasiswa ITB, 1964). Di Jakarta: Mahajaya (1961).
Pada 1978, pemerintah kembali melakukan pembreidelan terhadap beberapa suratkabar umum ternama. Kekosongan sementara pers umum ini diisi oleh pers mahasiswa, dan tiras pers mahasiswa mencapai puncaknya, sampai puluhan ribu eksemplar dan banyak dibaca orang di luar kampus. Tapi pemerintah kemudian juga membreidel penerbitan mahasiswa ini, dan baru boleh terbit lagi setelah enam bulan. Tapi belum genap setahun, Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus kembali dilarang terbit, karena isi pemberitaannya yang dianggap tidak berubah.
Pada periode 1990-an, tidak banyak pers mahasiswa yang menonjol, apakagi memiliki tiras sampai puluhan ribu seperti Harian Kami. Juga tidak ada pers mahasiswa yang dibaca secara meluas di luar kampus seperti Salemba sesudah pembreidelan 1978. Meskipun demikian, di setiap kampus –khususnya di perguruan-peguruan tinggi yang sudah mapan—selalu ada penerbitan pers mahasiswa dengan tiras dan penyebaran yang beragam, entah di tingkat jurusan, fakultas, atau universitas. Entah isinya bersifat spesifik keilmuan atau bersifat umum.

Cara pengelolaan yang kurang profesional dan diberlakukannya kalender akademis dengan SKS yang ketat membuat penerbitan pers mahasiswa terbit seadanya. Jadwal penerbitan tidak teratur. Masalah klasik yang sering dihadapi adalah sulitnya memperoleh dana penerbitan dan regenerasi kepengurusan untuk mengelola pers mahasiswa. Iklim politik Orde Baru dengan sistem pendidikannya, yang sengaja dibuat agar mahasiswa lebih memusatkan diri pada studi dan mengurangi aktivitas lain yang berbau politik, ikut andil dalam hal ini. Toh meski dengan kondisi demikian, tetap ada pers mahasiswa yang hadir.
Namun berbagai pers mahasiswa era 1990-an ini sudah sangat berbeda dengan pers mahasiswa era sebelumnya, khususnya sebelum 1970-an. Pers mahasiswa sekarang dilihat dari orientasi politik pengelolanya telah mengalami pergeseran. Pada generasi 1908, 1928, 1945, pengelola pers mahasiswa menjadikan medianya benar-benar sebagai alat perjuangan politik melawan penjajahan pihak luar. Pada saat yang sama, para pengelolanya juga aktivis-aktivis politik di tingkat nasional. Jadi kepentingan politik sangat mendominasi cara pengelolaan pers mahasiswa waktu itu.
Pergeseran mulai terjadi pada pers mahasiswa periode 1971/74 – 1980, seperti Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus. Para pengasuh pers mahasiswa ini berasal dari mahasiswa yang pada mulanya didasari minat pada dunia jurnalistik. Karena latar belakang semacam itu yang dominan, keterikatan mereka pada pers mahasiswa lebih banyak oleh kesamaan minat pada jurnalistik. Sedangkan kritik sosial yang bebas, tanpa harus memihak kubu politik tertentu, ditempatkan sebagai fungsi utama penerbitannya.

Tampaknya ini sejalan dengan konsep gerakan mahasiswa sebagai “kekuatan moral” yang mulai dilontarkan pada 1970-an, di mana kritik sosial yang dilancarkan mahasiswa tidak dilandasi keinginan mahasiswa untuk memperoleh kursi kekuasaan. Kecenderungan ini tampaknya berlanjut pada pers mahasiswa periode 1980-an dan 1990-an. Para pengelolanya berminat pada dunia jurnalistik, namun tidak punya interest untuk duduk di kursi kekuasaan lewat aktivitas di pers mahasiswa. Dengan demikian, dari segi independensi sikap dan keberpihakan politik, pengelola pers mahasiswa mulai generasi 1971/74, 1980-an, dan 1990-an relatif lebih independen dan bebas, serta lebih heterogen aspirasi politiknya.

Warna gerakan prodemokrasi, yang tidak lagi berbasis di kampus, juga mewarnai pers mahasiswa 1990-an. Ini terlihat, misalnya, dari Kabar dari Pijar yang diterbitkan Yayasan Pijar (Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi). Dalam mencoba menerobos kebuntuan, sejumlah lembaga pers mahasiswa melakukan kerjasama pelatihan jurnalistik dengan organisasi profesi wartawan yang kritis terhadap Orde Baru, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang didirikan para jurnalis muda idealis pada 7 Agustus 1994.[37] Banyak aktivis pers mahasiswa juga terlibat dalam penyebaran dan penjualan Suara Independen, buletin AJI yang dianggap ilegal oleh pemerintah Soeharto waktu itu. Khususnya ini terjadi pada periode 1995-1997.
Para aktivis pers mahasiswa juga dipandang oleh AJI sebagai kader-kader atau calon jurnalis potensial, yang suatu saat akan betul-betul terjun secara profesional dan mewarnai dunia pers Indonesia yang sudah terlanjur dikooptasi oleh penguasa Orde Baru lewat organisasi "wadah tunggal" semacam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). PWI Pusat di bawah Ketua Umum Sofjan Lubis[38] dan Sekjen Parni Hadi, dan PWI Jakarta di bawah Tarman Azzam[39], waktu itu praktis sudah menjadi alat rezim dengan sikapnya yang "memaklumi" dan tidak mengecam pembreidelan Tempo, DeTik, dan Editor, pada 21 Juni 1994.

Beberapa hari sebelum penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, 12 Mei 1998, para aktivis pers mahasiswa di UPN Veteran juga mengadakan pendidikan pers bekerjasama dengan AJI. Salah satu materinya adalah bagaimana cara membuat siaran pers yang efektif, sehingga agenda-agenda gerakan mahasiswa 1998 bisa lebih tersosialisasi di tengah masyarakat. Selama periode 1997-1999, AJI juga menjalin kerjasama dengan pers mahasiswa di Sekolah Tinggi Theologi, UPN Veteran, IISIP Lenteng Agung, Unitomo Surabaya, Unila Lampung, IAIN Jakarta, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Hasanuddin Ujungpandang, dan dengan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jabotabek (FKSMJ).[40]

Kerjasama organisasi jurnalis profesional dan aktivis pers mahasiswa itu ternyata kemudian terus berlanjut. Yayasan Jurnalis Independen (YJI), yayasan nirlaba yang didirikan oleh sejumlah pendiri AJI pada 12 Januari 2000, menjalin kerjasama berkesinambungan dengan aktivis mahasiswa Universitas Terbuka (UT). YJI bertujuan menumbuhkembangkan jurnalis yang profesional, kritis dan independen.[41]

Para aktivis YJI memberikan pelatihan pers secara gratis untuk mahasiswa UT, melalui Forum Komunitas Mahasiswa dan Masyarakat Internet (FKM2I), yang membuat media online, yakni MAMAnet (Majalah Mahasiswa Internet online) di www.kbi-ut.com. Penggunaan media Internet adalah perkembangan teknologi kontemporer yang dimanfaatkan oleh para aktivis pers mahasiswa.

Di lingkungan Universitas Indonesia, YJI juga menjalin kerjasama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, dengan mengadakan seminar dan pelatihan jurnalistik di kampus UI Depok, 14-15 November 2001. Seperti pola-pola kerjasama sebelumnya, seluruh materi dan tenaga instruktur disediakan oleh YJI. Acara yang diikuti lebih dari 150 orang ini lebih dari separuh pesertanya berasal dari luar UI, seperti dari UNJ dan IISIP. Ada juga peserta yang bukan mahasiswa (SMA), bahkan tiga jurnalis suratkabar Suara Kota yang berbasis di Depok ikut menjadi peserta.

            Kondisi Politik dan Hankam Indonesia 1997-1998

Untuk memahami bagaimana peran pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa 1998, tentu kita perlu meninjau bagaimana kondisi sosial-ekonomi, politik, dan pertahanan-keamanan pada waktu itu, yang mengalami banyak perubahan besar sejak terjadinya krisis moneter 1997.

Sebelum berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, kondisi politik Indonesia sebetulnya sudah lama memburuk. Bisa dibilang, benih-benih perlawanan yang kemudian memuncak terhadap Soeharto sudah ditanam jauh sebelum Pemilihan Umum Juni 1997, bahkan sekurang-kurangnya sekitar satu dasawarsa sebelumnya.   Dengan makin bertambahnya tahun kekuasaan Soeharto, legitimasinya justru makin merosot. Sesudah 30 tahun di bawah sistem politik tertutup rezim Soeharto, masyarakat kelas menengah menuntut “kue politik” yang lebih besar, sedangkan masyarakat bawah menuntut “kue ekonomi” yang lebih besar.

Sebagai indikator frustrasi yang memuncak, berbagai kerusuhan sosial telah terjadi di Indonesia, bahkan jauh sebelum terjadinya krisis moneter Juli 1997. Sesudah kerusuhan sosial berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) di Surabaya pada Juni 1996, yang merusak 10 gereja, kerusuhan yang paling menonjol secara politis pada 1996 adalah Peristiwa 27 Juli atau dinamai juga Sabtu Kelabu. Yakni, penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang dikuasai oleh massa pendukung Megawati Soekarnoputri, oleh massa pro-Soerjadi yang secara terselubung didukung aparat militer.

Menurut catatan M. Iqbal Djajadi [1999], pada tahun 1997 setidaknya terdapat 17 kasus kerusuhan di berbagai daerah, sebagian besar terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Umum.[42] Namun yang memakan paling banyak korban adalah kerusuhan etnis antara Dayak dan Madura di Sanggauledo, Kalimantan Barat. Kerusuhan terakhir ini terdiri dari dua gelombang. Gelombang pertama  pada 30 Desember 1996 hingga 15 Januari 1997, dan gelombang kedua pada 28 Januari sampai 18 Februari 1997.

Sedangkan pada tahun 1998 terjadi setidaknya 17 kerusuhan. Yang paling dramatis adalah kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta dan kerusuhan 14-15 Mei di Solo. Dari 17 kerusuhan itu, 14 di antaranya terjadi pada bulan Mei, yakni pada saat-saat terakhir Soeharto menjabat Presiden. Karena data kerusuhan ini dicuplik dari pemberitaan media massa, bisa jadi jumlah kerusuhan yang terjadi sebenarnya lebih banyak lagi, karena tidak semua kerusuhan terpantau oleh media. Kerugian jiwa dan harta benda akibat berbagai kerusuhan ini sudah sangat besar.

Kerugian akibat Kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta saja, menurut penjelasan pemerintah, diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.[43] Menurut perincian Gubernur DKI, Kerusuhan 13-14 Mei itu telah merusak 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kantor kecamatan, 11 polsek, 383 kantor swasta, 65 bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom bensin, 8 bus kota dan metromini, 1.119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 11 taman, 18 pagar, 1.026 rumah penduduk dan gereja. Sementara itu, korban meninggal berjumlah 288 orang dan 101 korban luka-luka.

Banyaknya kerusuhan ini menunjukkan kondisi integrasi nasional Indonesia sedang berada pada titik amat rendah. Aspek lain dari sejumlah kerusuhan ini adalah mengemukanya perlawanan masyarakat versus negara. Praktis seluruh Insiden Pemilu 1997 merupakan bentuk perlawanan masyarakat terhadap sikap sewenang-wenang negara. Rezim Soeharto melakukan blunder dengan merekayasa Peristiwa 27 Juli, yang dampaknya menimbulkan ketidakpercayaan berat terhadap pemerintah.

Masyarakat Indonesia memang telah mengalami transformasi sosial yang sangat fundamental, atau ada yang menyebutnya “revolusi diam-diam” (silent revolution). Menurut Afan Gaffar [1999], transformasi sosial ini merupakan produk dari pembangunan nasional yang berlangsung selama lima Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan nasional memang telah membawa hasil positif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekalipun dengan tingkat distribusi yang masih belum baik.

Sebelum terjadi krisis ekonomi, pendapatan per kapita Indonesia sudah meningkat menjadi sekitar 550 dollar AS, dan kemampuan baca tulis orang dewasa mencapai 75 persen. Selain itu, terdapat peningkatan proporsi orang yang mengalami peningkatan kemampuan politik. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah pemilih muda yang semakin bertambah pada setiap Pemilu.

Pada Pemilu 1992, sekitar 22 juta pemilih pemula untuk pertama kali mengunakan hak pilihnya. Pada Pemilu 1997, jumlah pemilih baru juga hampir sama, 20 juta pemilih. Mereka adalah generasi baru yang mempunyai pengalaman politik berbeda, yang mengalami sosialisasi atau pendidikan politik dan yang kemudian memiliki aspirasi dan tuntutan politik yang berbeda pula dari generasi-generasi sebelumnya.

Sejalan dengan makin meningkatnya kesejahteraan dan tingkat pendidikan masyarakat, tuntutan ke arah kehidupan politik juga tak bisa dihindarkan. Tampaknya sistem politik di bawah rezim Soeharto gagal mengakomodasi meningkatnya tuntutan politik bagi demokratisasi ini.[44]

Ada beberapa karakteristik dari pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto yang tampaknya enggan berubah menghadapi desakan tuntutan masyarakat ini. Karakteristik itu adalah: Lembaga Kepresidenan yang terlalu dominan; rendahnya kesetaraan di antara Lembaga Tinggi Negara; rekrutmen politik yang tertutup; birokrasi sebagai instrumen kekuasaan; kebijaksanaan publik yang tidak transparan; sentralisasi; implementasi hak asasi manusia (HAM) yang masih rendah; dan sistem peradilan yang tidak independen.[45]

Lembaga Kepresidenan di bawah Soeharto telah membentuk format politik secara mempribadi, dan memiliki semua sumberdaya yang diperlukan dalam sebuah proses politik. Salah satu sumberdaya politik yang sangat strategis bagi lembaga ini adalah kontrol terhadap rekrutmen politik, baik yang ada di lembaga-lembaga tinggi negara, birokrasi, maupun yang di luar lembaga negara, termasuk: partai politik, organisasi sosial, bahkan organisasi ekonomi.

Keterwakilan rakyat di parlemen (DPR dan MPR) telah berkurang maknanya karena pola rekrutmen yang sebagian bersifat tertutup. Artinya, tidak secara langsung melibatkan masyarakat pemilih dan tidak memberikan peluang yang sama bagi mereka yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan tersebut.[46] Sejumlah anggota MPR diangkat oleh Presiden tanpa melalui Pemilu.

Dari 1.000 anggota MPR pada rekrutmen tahun 1997, misalnya, 425 berasal dari anggota DPR yang dipilih melalui Pemilu, 75 berasal dari anggota DPR yang mewakili ABRI dan diangkat secara langsung oleh Presiden atas usul Panglima ABRI. Sedangkan 500 lainnya adalah anggota MPR yang mewakili Utusan Daerah dan Golongan-golongan.

Proses seleksi 500 anggota MPR lainnya itu adalah: 1) Anggota MPR yang merupakan tambahan dari Parpol dan Golkar, sesuai dengan persentase perolehan suara dalam Pemilu; 2) Anggota MPR yang merupakan Utusan Daerah yang diusulkan oleh DPRD Tingkat I dan diangkat dengan SK Presiden; 3) Anggota MPR berjumlah 100 orang yang mewakili Golongan-golongan dan  diangkat secara langsung oleh Presiden dan kemudian bergabung dengan FKP di MPR. Jadi setidaknya ada 175 anggota MPR yang diangkat langsung oleh Presiden.

Dalam prakteknya kemudian, MPR juga sulit disebut sebagai lembaga legislatif murni, karena pejabat pemerintah pusat dan daerah (kalangan eksekutif) --seperti: menteri kabinet, gubernur, panglima daerah militer-- ikut menjadi anggota legislatif. Ini terlihat jelas pada anggota MPR di FKP, yang berasal dari Golongan-golongan, dan anggota MPR Utusan Daerah. Maka timbul persoalan tentang makna representasi dari MPR dan sulit diharapkan lembaga parlemen ini bisa benar-benar menjadi penyalur aspirasi rakyat.

Pemilu 1997, seperti Pemilu-pemilu Orde Baru sebelumnya, secara formal-prosedural adalah proses politik dari bawah, tetapi secara substantif sejatinya sangat didominasi oleh prakarsa elite. Sebab, proses dan struktur Pemilu pada hakekatnya lebih banyak bermuatan kehendak elite politik dan hanya sedikit sekali memberi peluang kepada rakyat untuk menyarankan aspirasinya. Jadi, adalah konsekuensi logis belaka jika hasil Pemilu berupa wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD lebih menyuarakan kepentingan penguasa ketimbang kepentingan rakyat.[47]

Pada 1-11 Maret 1998 diadakan Sidang Umum (SU) MPR, yang para pesertanya adalah anggota MPR/DPR hasil Pemilu 1997. SU MPR diawali dengan pidato pertanggungjawaban Soeharto. Dalam pidato itu, Soeharto tidak menyinggung-nyinggung soal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), isu-isu yang justru sedang disorot tajam oleh masyarakat dan dianggap melibatkan kalangan keluarga Cendana dan kroninya. SU MPR yang diadakan di tengah krisis ekonomi ini berlangsung seolah-olah kondisi normal. Bahkan akhirnya, Soeharto oleh MPR dipilih lagi ketujuhkalinya dengan suara bulat, menjadi Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003, dengan BJ Habibie sebagai Wakil Presiden.

Namun susunan kabinet baru kembali menunjukkan ketidakseriusan Soeharto dalam menangani krisis. Kabinet itu diisi dengan tokoh-tokoh kroni yang makin menimbulkan frustrasi masyarakat, seperti Muhammad “Bob” Hasan sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan; Subiakto Tjakrawerdaya menjadi Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil; R. Hartono menjadi Menteri Dalam Negeri; bahkan putri Soeharto sendiri, Siti Hardiyanti Rukmana, ditunjuk menjadi Menteri Sosial.

Inilah kabinet yang paling lemah dan paling tidak profesional di masa Orde Baru. Bau nepotismenya sangat kental. Beberapa figur yang jelas-jelas bermasalah malah dipasang lagi.[48] Sejumlah menteri bahkan bisa dibilang sebagai figur antireformasi. dan seolah-olah tutup mata dan tutup telinga terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

Menyinggung tuntutan masyarakat bagi demokratisasi dan reformasi, R. Hartono, dalam serah terima jabatan Menteri Dalam Negeri dari Moh. Yogie SM, pada 17 Maret 1998, mengatakan: “Saya sendiri tidak tahu. Jika (ada yang menuntut) demokratisasi, apa selama ini tidak demokratis. Reformasi? Apa tidak reformasi? Kalau reformasi dalam arti radikal, itu tidak sesuai dengan budaya kita. Jangan lupa, radikal dengan perubahan yang sesuai dengan tuntutan itu beda. Kita sudah laksanakan reformasi sejak tahun ’45 sejak kita merdeka. ‘Kan bertahap, bertingkat.” 

Akibatnya, berbagai demo mahasiswa muncul dan terus bergelombang di kampus-kampus. Berbagai aspirasi masyarakat yang mendukung reformasi pun makin gencar dan terbuka diungkapkan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), misalnya, dalam pernyataan yang dibacakan Sekjen PB NU Achmad Bagdja yang didampingi Rois Syuriah KH Ilyas Ruchiat sesudah rapat pleno PB NU, 15 April 1998, mengimbau ABRI untuk mendukung reformasi. Dikatakan, perubahan (reformasi) merupakan sunnah atau hukum Allah yang tidak dapat ditolak.Menolak reformasi atau ishlah (tuntutan perbaikan) sama artinya dengan menolak sunnah Allah serta mengingkari potensi manusia untuk menyempurnakan diri dan kehidupannya menjadi lebih baik.

Pada 1 Mei 1998, Soeharto melalui Mendagri R. Hartono bereaksi dengan mengatakan, reformasi hendaknya harus tetap konstruktif dan tidak terjebak dalam pemikiran dan sikap yang akibatnya mengganggu stabilitas. Kalau ada keinginan reformasi di bidang politik, dipersilakan mempersiapkan diri setelah tahun 2003. “Bila reformasi sampai mengganggu stabilitas, terpaksa harus dihadapi demi kepentingan bangsa!”

Sikap serupa diungkapkan melalui Menteri Penerangan M. Alwi Dahlan, bahwa reformasi harus melalui MPR/DPR sebagai jalur konstitusional, tapi kalau ada yang tidak mau mengerti, akan dihadapi dengan suatu tindakan. Tetapi sesudah muncul reaksi keras terhadap pernyataan ini, Soeharto meralat ucapannya dengan mengatakan, tidak benar jika ia disebut tidak menginginkan reformasi sampai tahun 2003.

Soeharto bertolak ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri Konferensi Tingkat tinggi G-15 kedelapan, 9 Mei 1998. Ketika Soeharto di luar Indonesia, terjadi insiden penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei. Pada peristiwa di Trisakti, 12 Mei itu, telah tewas: Hendriawan Sie (mahasiswa FE angkatan 1996), Hafidhin Royan (mahasiswa FT Sipil & Perencanaan, angkatan 1995), Elang Mulia Lesmana (mahasiswa FT Sipil & Perencanaan, angkatan 1996), dan Hery Hartanto (mahasiswa Fakultas Teknologi industri, angkatan 1995).

Tragedi Trisakti itu disusul dengan terjadinya kerusuhan massa di Jakarta pada 13-14 Mei 1998. Karena situasi gawat, Soeharto mempersingkat kunjungannya di Mesir dan kembali ke Jakarta pada 15 Mei 1998. Pada 16 Mei, Soeharto menerima para dosen UI, yang dipimpin Rektor UI Prof. DR. dr. Asman Boedisantoso Ranakusuma, yang memberi masukan tentang konsep reformasi. Pada kesempatan itu, para dosen menyampaikan aspirasi rakyat, yang meminta Soeharto mundur. Presiden menjawab, semua aspirasi itu disalurkan ke DPR.

   Sesudah bertemu dengan delegasi UI, Soeharto bertemu dengan para pimpinan DPR, yakni Ketua DPR/MPR H. Harmoko, Wakil Ketua Syarwan Hamid, dr. Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, Fatimah Achmad, dan Sekjen DPR Afif Ma’roef.[49] Dalam pertemuan itu, Ketua DPR menyampaikan dokumen dari DPR yang menyangkut agenda reformasi DPR dan aspirasi masyarakat yang disampaikan ke DPR oleh berbagai kekuatan sosial-kemasyarakatan, mahasiswa, cendekiawan, LSM dan sebagainya. Secara rinci Ketua DPR mengungkapkan desakan rakyat untuk menggelar Sidang Istimewa MPR. Kabinet Pembangunan VII segera di-reshuffle dan Presiden agar mengundurkan diri.

Menanggapi hal itu, dengan alasan untuk melindungi rakyat, harta rakyat, aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, Pancasila dan UUD ’45, Soeharto menjawab, ia akan melakukan tiga hal.  Pertama, untuk mengamankan semua itu ia akan mengambil tindakan tegas dengan menggunakan Tap V/MPR/1998, yang memberi wewenang sangat luas kepada Presiden untuk mengambil tindakan apapun untuk keselamatan negara. Kedua, reformasi jalan terus, DPR diharapkan menggunakan usul inisiatif dan pemerintah mendukung. Ketiga, kabinet akan di-reshuffle.

Ismail Hasan Metareum mempersoalkan dampak yang akan terjadi, khususnya akibat penerapan Tap V/MPR/1998, bilamana dalam pelaksanaan operasionalnya dibentuk badan semacam Kopkamtib, yang di mata masyarakat merupakan lembaga ekstra-konstitusional yang di masa lalu sangat menyeramkan. Selain itu, bagaimana pula reaksi luar negeri. Presiden menjawab, soal nama akan dipertimbangkan agar tak ada kesan Kopkamtib gaya baru, sedangkan reaksi luar negeri tak perlu dihiraukan karena ini semata-mata urusan dalam negeri. Sikap Presiden terhadap tuntutan rakyat dengan demikian sangat jelas.

Pada Senin, 18 Mei para pimpinan DPR/MPR bertemu. Saat itu gedung MPR/DPR sudah diduduki ribuan mahasiswa, dan DPR dalam posisi terjepit antara tuntutan rakyat dan mahasiswa serta sikap keras Presiden. Dalam pertemuan itu, para pimpinan DPR menyimpulkan DPR harus bertindak, dengan membuat pernyataan yang berpihak kepada aspirasi dan tuntutan rakyat, yang dipelopori mahasiswa. Yakni, agar Soeharto mundur. Sebelum menyusun pernyataan pers, pimpinan Dewan mengundang para pimpinan fraksi (Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Persatuan Pembangunan). Mereka satu-persatu diberitahu tentang hasil pertemuan dengan Presiden pada hari Sabtu (16 Mei), dan tentang kesepakatan pimpinan dewan untuk membuat pernyataan pers.  

Berdasarkan hasil pertemuan itu, Ketua DPR/MPR H. Harmoko pada pukul 16.00 WIB, 18 Mei, membuat manuver politik mengejutkan. Dalam jumpa pers, Harmoko mengatakan, Pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil Ketua, mengharapkan –demi persatuan dan kesatuan bangsa—Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Namun malam harinya, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto menyanggah, dengan mengatakan pernyataan Ketua MPR/DPR itu adalah sikap individual yang tidak memiliki ketetapan hukum, meskipun disampaikan secara kolektif. Pendapat DPR harus diambil seluruh anggota melalui sidang paripurna DPR.

Di tengah desakan mundur yang gencar, Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat yang disiarkan oleh televisi, 19 Mei 1998. Tokoh-tokoh masyarakat yang sengaja diundang ke Istana Merdeka itu adalah: DR. Nurcholish Madjid (cendekiawan), Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra (pakar Hukum Tata Negara), Prof. KH Ali Yafie dan Drs. Amidhan (MUI), KH Abdurrahman Wahid, dr. Fahmi Saifuddin, KH Ma’ruf Amin, dan KH Achmad Bagdja (NU), Emha Ainun Nadjib (seniman), KH Cholil Baidlowi (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), Prof. Malik Fadjar, MSc., Sutrisno Muhdam, dan Soewarsono (Muhammadiyah).

Pada kesempatan itu, Soeharto mengatakan, tidak menjadi masalah jika ia harus mundur. Pasalnya, apakah dengan kemundurannya itu akan bisa mengatasi permasalahan. Soeharto mengatakan, ia tak mau dicalonkan kembali pada Pemilu mendatang dan akan membentuk Komite Reformasi secepatnya.

Berdasarkan kesepakatan seluruh fraksi, DPR-RI pada hari yang sama menyatakan, dapat memahami pengunduran diri Presiden jika dilaksanakan secara konstitusional. Hari itu, makin banyak mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR Senayan.

Suasana kota Jakarta pada 20 Mei 1998 sangat mencekam. Hampir seluruh kegiatan kantor, sekolah, pertokoan berhenti. Soeharto sendiri terpukul, ketika 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Kabinet Pembangunan VII, dalam pertemuan di kantor Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita memutuskan, untuk tidak duduk lagi dalam kabinet yang direncanakan Soeharto dari hasil pertemuan dengan para tokoh masyarakat, yang akan dinamai Kabinet Reformasi.

Empat belas menteri yang tidak mau lagi bergabung dalam kabinet adalah: Ir. Akbar Tandjung (Menperkim), Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, M.Sc (Mentamben), Ir. Drs. AM. Hendropriyono, SH, SE, MBA (Mentrans PPH), Sanyoto Sastrowardoyo, M.Sc (Meninves/Kepala BKPM), Ir. Rachmadi Bambang Sumadhijo (Menteri PU), Prof. Dr. Ir. Rahardi Ramelan, M.Sc (Menristek/Kepala BPPT), Ir. Sumahadi, MBA (Menhut/Perkebunan), Subiakto Tjakrawerdaya, SE (Menkop/PPK), Drs. Theo L. Sambuaga (Menaker), Prof. Dr. Ir. Justika S. Baharsjah, M.Sc (Mentan), Ir. Giri Suseno Hadihardjono, MSME (Menhub), Dr. Haryanto Dhanutirto (Menpangan), dan Tanri Abeng, MBA (Meneg Pendayagunaan BUMN).

Dua menteri di bawah Menko Ekuin yang tidak hadir adalah Bob Hasan (Menperindag) dan Fuad Bawazier (Menkeu). Namun, Bob bersedia menandatangani surat bersama itu, kecuali Fuad Bawazier. Surat kesepakatan ketidaksediaan duduk dalam kabinet baru itu rencananya akan disampaikan kepada Soeharto.[50]

Dalam surat pernyataan kepada Soeharto yang ditandatangani 14 menteri tertanggal 20 Mei 1998 itu dinyatakan alasannya, yaitu situasi ekonomi sudah memburuk dari jam ke jam, dari hari ke hari. Diperkirakan, situasi ekonomi tak akan sanggup bertahan dalam seminggu jika tidak segera diambil langkah politik yang cepat dan tepat, sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Khususnya mengenai reformasi di segala bidang, seperti antara lain yang direkomendasikan oleh DPR-RI dengan pimpinan Fraksi-fraksi pada Selasa, 19 Mei 1998. Ke-14 menteri ini sependapat, pembentukan kabinet baru tidak akan menyelesaikan masalah.

Soeharto akhirnya berhenti dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998 dan Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi Presiden baru di Istana Merdeka. Kabinet Reformasi Pembangunan bentukan Habibie diumumkan pada 22 Mei 1998

0 komentar:

Posting Komentar