Melihat peran pemuda dan mahasiswa STKIP PGRI Jombang




sebuah lubang di bawah tempat duduknya dengan sebuah alat tajam. Andaikata para
musafir itu tak segera menahan tangannya dan mencegahnya dari berbuat demikian, tentu
mereka semua, termasuk si celaka itu, akan terancam tenggelam.
[Rasulullah Muhammad SAW]
Kita cinta perdamaiana tapi kita lebih cinta kemerdekaan,
Soekarno
Oleh karena keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari kepemilikan ilmu dan gelora cinta
di dada akan cahaya kebenaran, maka dapat diprediksikan bahwa mereka ini tergolong ke dalam
kaum  terpelajar.  Dalam  domain  keindonesiaan,  mereka  ini  boleh  jadi  merupakan  para
mahasiswa.  Ini  bisa  jadi  terlampau  berlebihan,  karena  itu  ada  beberapa  catatan  penting  terkait
dengan keberadaan kelompok dimaksud, akhir-akhir  ini. Meski begitu, wujud mungkin berupa
potensi besar gerakan mahasiswa untuk menjalankan  tugas  sosial,  tentu  tak hilang begitu  saja.
Wujud mungkin itu adalah kekuatan dahsyat.
Kenapa  demikian?  Karena,  jika  mengikuti  alur  berpikir  common-sense,  mahasiswa
adalah  kelas  menengah  tercerahkan,  antara  rakyat  kebanyakan  dan  negara,  hasil  seleksi  dari
suatu  komunitas  masyarakat  urban.  Konstituen,  budaya,  dan  struktur  yang  berkembang  di
dalamnya  punya  konotasi  ilmiah-rasional  dan  intelektualisme,  sehingga  ditempeli  banyak
embel-embel kesucian moralitas, kecendekiaan, dan heroisme.
Kendati begitu, ada banyak pembahasan yang mungkin  subversif  jika diketengahkan di
sini.Potensi  revolusionernya  (mahasiswa)  mungkin  karena  masa  pubertas  mereka  yang  ‘gue
banget!’  bisa  menggoyahkan  tatanan  sosial-budaya  bangsa.  Lepas  dari  jelas  atau  tidaknya
pandangan dunia mereka, semua perilaku mereka menjadi elitis dan ya itu tadi ‘ilmiah’.
Sebagai  missal,  ketika  masih  termasuk  golongan  pelajar  (sekolah  formal),  tawuran
mereka  adalah  bagian  dari  ikatan  group,  diilmiahkan  dalam  istilah  nakalnya  anak  muda,
sasarannya adalah sesama pelajar. Setelah jadi mahasiswa, sasaran beralih ke polisi dan disebut
sebagai  wujud  radikalisme.  Keren  abis  dah!  Kalo  pelajar  dapat  nilai  jeblok,  disebut  bodoh,
sedangkan mahasiswa  dapat  nilai D,  itu  disebut  karena  aktivitas.  Jadi,  kadang  agak  bisa  juga
antara demonstrasi sebagai sikap peduli rakyat. Karena, bisa juga emoh kuliah.
Apakah pada praktiknya nilai-nilai idealisme terintegrasi dalam tubuh aktivis mahasiswa
atau tidak, perlu kita kritisi. Artinya, banyak faktor yang membuat mahasiswa seperti itu. Sistem percepatan  kuliah  produk  propaganda  rektorat  agar  kampusnya  bisa  di-cap  sebagai  lembaga
disiplin. Lembaga disiplin tubuh bonafid yang bisa meluluskan mahasiswa dalam kurun waktu 3
tahun,  plus  embel-embel  cum  laude. Ditambah  fenomena  elite  penguasa  untuk menumpulkan
kritisisme dengan cara menaikkan harga masuk kuliah yang nyusahin ortu, plus tradisi keluarga
yang stress, kenapa anaknya belum lulus-lulus, belum dapet calon mantu, dan gurita kapitalisme
global yang  lebih menyukai  tipe mahasiswa  taat dan professional,  siap menjadi boneka pabrik,
yang kudu link and match dengan dunia hasil rekayasa korporasi trans-internasional dan negara.
Lihat  tubuh  bongsor  mahasiswa,  badan  mereka  membesar  dan  dewasa,  jauh  banget
dibanding mahasiswa era dahulu,  tapi  itu  akibat  suntikan hormonal dan ekstraksi multivitamin
ditambah makanan  suplemen dan KFC. Tidak  alamiah. Mereka  juga besar dalam  aksi  jalanan,
sebagai simbol ‘peduli’ pada nasib bangsa dengan menjual air mineral gelasan, atau nongkrongin
perempatan bawa bendera dan kardus  indomie yang bertuliskan, “Kencleng Sumpah Pemuda”.
Semua  itu  adalah  aktualisasi  hasil  lobbby  antara  senior  almamater  dan  organisasinya.  Jalanan
rame,  tapi  penuh  dengan  retorika  kosong,  emosi  labil  dan miskin  ide  orisinil.  Suka  ngomong
revolusi dan pakai kaos Che Guevara di mall-mall dan kafe, tanpa paham betul apa itu revolusi,
gimana nyusunnya, gimana mimpinnya, pokoknya funky, asal beda dengan situasi kondisi sosial
politik sekarang, itulah revolusi. Absurd banget!
Maka, tidak salah bila rakyat tidak mengerti omongan mereka. Sebab, mereka bukan lagi
berasal  dari  rakyat,  melainkan  telah  menjadi  jongos  elite.  Kalaulah  mereka  sempat  menjadi
aksesoris sebuah perubahan sosial, tiada satupun dari mereka yang mengemuka sebagai ideolog.
Mereka bisa ‘tidur’ dengan masyarakat dalam KKN atau protes Penggusuran Tanah. Sayangnya,
seperti  Santa  Clauss,  perilaku  eksibisionis  ini  tidak  menyentuh  hati  dan  paradigma  rakyat,
melainkan  sekedar  mengubah  dan  menambah  bentuk  material  saja.  Yang  tadinya  memakai
sungai sebagai  jamban sekarang beralih ke MCK, atau mengecat mesjid, membuat nama  jalan,
pokoknya sama dech kayak AMD (ABRI Masuk Desa). Memang tidak salah, sebagaimana juga
Santa Clauss, tidak salah membagi-bagi hadiah ke anak-anak.
Tapi,  lain  soal  ketika mendudukan mahasiswa  sebagai  penyambung  lidah  rakyat  dan
kaum tertindas. Mahasiswa yang jauh dari massa rakyat ini jauh dari hati, semangat, bahasa, dan
penderitaan bangsa. Kita bisa kalkulasikan seberapa banyak mereka masih berbicara soal tek-tek
bengek  kenegaraan  ketimbang  problem  riil  rakyat.  Mengapa?  Karena,  bicara  kebijakan
pemerintah  adalah  bicara  kursi  yang  mempengaruhi  periuk  nasi  elite.  Kemampuan  berbicara tentang  struktur  yang  tidak  didukung  dengan  praksis  (abstraksi  ideologi  yang  bersentuhan
langsung  dengan  perubahan  sosial)  hanya  memproduksi  aktivitas  salon,  manekin  solek  dan
penumpulan rasa.
Kalaulah  muncul  kesadaran  tentang  penderitaan  rakyat,  itu  sifatnya  temporer.  Sama
seperti  masturbasi,  kenikmatan  sesaat,  hasil  manipulasi  kesadaran.  Kenapa?  Sebab,  tidak
mungkin membela rakyat sambil asyik makan indomie, sedang di sisi lain sebagian besar rakyat
menggantungkan  hidup  pada  sawah-padi-beras?  Padahal,  makan  nasi  jauh  lebih  bergizi  dan
sehat  ketimbang  makan  sebungkus  indomie.  Harganya  juga  lebih  murah  koq!  Maka,  tiba
waktunya bagi kita mendekonstruksi paradigma dan sikap kosong seperti ini. Kesalahan terbesar
mahasiswa  adalah malas mengasah  pemikiran,  berdialektika  dengan membaca  dan  berdiskusi,
dan menyusun jaringan aktivitas. Ilmu tidak boleh dipahami sebagai wacana saja, “yang penting
bisa lulus UAS!”. Tapi juga, mesti dikritisi dalam praktis sosialnya.
Umumnya,  mereka  agak  sulit  mau  sadar  berfikir  sistem.  Berfikir  sistem  itu  adalah
bagaimana menyusun  program  dan  strategi  ke  depan. Wajar,  bila  setiap LDKM, LKMM,  dan
LKM,  atau  pembinaan  di  lembaga  mahasiswa  kampus  cuma  mengulang  saja.  Tidak  ada
kurikulum  yang  jelas  buat  pengkaderan  di  kampus.  Beres  jadi  eksekutif,  balik  lagi  kuliah.
Hihihh, pensiun jadi aktivis ya, mas!
Padahal, yang namanya mengurus BEM itu kerjanya luar biasa besar. Kalau kita mimpin
BEM,  lalu  bayaran  kuliah  tetap  naik,  anggota  biasa  ga  dapet  beasiswa,  atau  pemilihan  rektor
masih tidak melibatkan mahasiswa, mending BEM bubar saja. Jangan pernah berpikir mengatasi
sistem negara yang bobrok kalau masalah kampus saja kita takut mengkritik Rektor.
Mahasiswa  harus  punya  kesadaran  untuk membawa  rakyat  pada  nilai-nilai  transenden
yang  lebih  luhur,  lebih  dari  sekedar  perubahan  struktural  (ganti  pejabat)  dan  material.  Tapi,
sebelum  sampai  ke  sana,  mereka  harus  sabar  membina  diri  menguatkan  konsep
berpikir-berdialektika-beraksi di diri mereka sendiri. Jangan berkoar-koar soal negara dan dunia
jika kita tidak mau sedikit mengeluarkan keringat untuk mengasah logika dan memperkaya pisau
analisa dengan membaca banyak buku. Apabila seseorang menetapkan bagi dirinya sendiri untuk
mengadakan reformasi masyarakat, maka ia harus berbeda dengan rakyat biasa.
Ia  tidak  boleh  memiliki  kelemahan-kelemahan  rakyat  biasa.  Sebuah  hadits  pernah
mengatakan,  “Orang  yang  hendak menjadi  pengurus  rakyat,  haruslah  pertama-tama mendidik
dirinya,  setelah  itu  mendidik  rakyat.  Seorang  guru  atau  pelatih  diri  sendiri,  lebih mulia  dari seorang guru dan seorang pengurus bagi orang lain”. Revolusi bukan jamuan makan malam atau
diskusi-diskusi sambil pesen Cafucino, plus kretek, sembari mengulang-ulang puisi WS. Rendra.
Ingat, puisi gak pernah bikin revolusi, Bung!
Selain  itu, mereka  juga perlu mendekatkan diri dengan  realitas masyarakat  sebagai asal
dan  rumah mereka menimba  ilmu.  Jujur  saja,  jika  pendidikan  kita  disubsidi  oleh  rakyat,  yang
tidak  lain dan  tidak bukan adalah orang  tua kita  sendiri, dan menyadari hal  ini  semua, mereka
(mahasiswa)  baru  bisa  menjadi  titik  api  yang  berfungsi  sebagai  sumber  kehidupan  yang
membakar, mencerahkan, dan menggerakkan rakyat.
Dengan penelaahan kritisnya, kehadiran mereka seperti cahaya, terang menerangi dirinya dan menerangi  sesuatu  di  luar  dirinya.  Seperti  dikutip  dalam Kitab Verdata,  “Orang  besar  itu
seperti  lelaki  yang  mengusung  pelita  dalam  kegelapan.  Orang  yang  tidak  memilikinya  tidak
punya pilihan lain, kecuali mendekat dan mengikutinya tanpa pamrih”.
Tinggal  sekarang,  kita  bicara  soal  hitung-hitungan  waktu. Mengutip  ucapan Mao  Tse
Dong, “Revolusi adalah momentum yang disusun dari seribu tahun pasukan, yang dipergunakan
pada  sebuah  subuh!”  Untuk  menyusunnya,  kita  perlu  perubahan  paradigma  dan  kurikulum
perkaderan  di Ormawa. Dimulai  dengan membangun  kesadaran  berpikir  dan menambah  ilmu
dengan  banyak  membaca,  menyusun  kebiasaan  berargumentasi  yang  benar  dengan  belajar
logika, dan keterampilan praktis di lapangan yang untuk bisa diterapkan di masyarakat atau masa
depan mahasiswa sendiri kelak.
Last  but  not  least,  ada  baiknya  kita  kutip  ucapan  arsitek  proklamasi  kemerdekaan  RI
Bung  Hatta,  “Revolusi  menggugurkan  semua  karat-karat,  dan  melonggarkan  perbautan  dari
sistem.  Setelah  itu  ia  harus  disusun  kembali  dengan  segera!!!”  Untuk  itu,  revolusi  butuh
pandangan  yang  luas  dan  wawasan  yang  padu.  Revolusi  bukan  romantisme  berleha-leha.
Revolusi adalah kerja. Tinggal masalah waktu kapan kita menuainya. Kita  tuai  itu  semua esok
hari. Kalaupun kita tidak mengalaminya, biarlah anak-cucu kita yang merasakan segarnya dunia.
Minimal, mereka (anak-cucu kita), tidak menyalahkan atau bahkan bersedih hati telah terlahir ke
dunia,  karena  adegan  seksual  (entah  karena  dorongan  nafsu  syahwat  atau  ibadah)  yang  kita
lakukan,  yang mengakibatkan  seorang  perempuan mengandung  benih manusia  baru  itu.  Ingat
Bung! kita  tidak hidup untuk hari kemarin. Melainkan, untuk esok hari.  Ingat, untuk esok hari!
“We’re living for tomorrow. Not for yesterday”. Ayo Bung!  
Selamat Menjadi Mahasiswa !!! Setelah jadi mahasiswa jangan bangga hanya menjadi pelengkap dan berusaha meng-elitkan diri (Norak tau!).
Para senior berubah menjadi orang yang gila hormat.......  
Pasang muka cari gebetan bagi yang gak laku..
Bagaimana mau berkah, mas. Harga Kuliah tuh naik. Pokoknya, multi-efek lah, yang kesimpulannya, “rakyat (penulis dan orang tua penulis yang juga muslim) makin sengsara!”

0 komentar:

Posting Komentar