Kebelakangan
ini, peranan mahasiswa yang dianggap sebagai agen arus perubahan yang
diinginkan masyarakat bergema semula. Pandangan masyarakat terhadap
mahasiswa sebagai kelompok intelektual dan sebagai agen gerakan
pembaharuan, hendaklah menyadarkan kita (mahasiswa) sebagai kelompok
intelektual muda.
Dalam
hal itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berperanan lebih nyata terhadap
perubahan atau paling tidak menjadi pendokong dari sebuah perubahan ke
arah yang lebih baik. Kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat untuk
melakukan perubahan terhadap sistem yang cenderung berorientasi pada
kekuasaan yang membelenggu demokrasi, menuntut peranan yang lebih dari
mahasiswa sebagai agen perubahan serta sebagai mekanisme kawalan.
Kedudukan
mahasiswa sebagai mekanisme kawalan, bermaksud sebagai pengimbang
kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah. Tugas tersebut, idealnya
memang dilakukan oleh partai politik, namun sayang hal itu tidak
berlaku, bahkan dimandulkan oleh kekuasaan yang tidak mengenal apa yang
dikatakan “kritikan”. Dalam konteks itulah, letak peranan mahasiswa
sebagai agent of social control serta sebagai agent of change.
Namun
kalau dinilai, gerakan mahasiswa yang baru saja dibahas, sepertinya
tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua,
disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum
sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya
beberapa mahasiswa saja, yang benar-benar konsisten serta matang dalam
menggagas gerakan pembaharuan.
Gerakan Mahasiswa
Kalau
kita bandingkan mahasiswa sekarang dengan mahasiswa dahulu, sangatlah
jauh berbeda. Dulu, mahasiswa dengan idealismenya dapat menjadi payung
kepada masyarakat marhaen yang memerlukan pembelaan.
Semangat
juang yang digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mahasiswa waktu itu,
dengan setiap saat melakukan penyadaran terhadap rakyat, berhasil
menghasilkan beberapa orang pemimpin ternama hari ini.
Bandingkan
hal tersebut dengan mahasiswa sekarang, yang mengalami degradasi, baik
dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati
diri mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung untuk berpikir pragmatis
dalam menghadapi persoalan.
Ada
dua persoalan yang mendasari analisis mengenai sebab-sebab hal
tersebut, sehingga mahasiswa lebih bersikap hedonis. Pertama, pengaruh budaya Barat
yang tidak tersekat telah meracuni pemuda dan mahasiswa. Mereka dengan
mudah meniru budaya asing tanpa menyadari risikonya, seperti berpesta
pora, dan menghabiskan masa kepada perkara-perkara yang langsung tidak
bermanfaat.
Kedua,
adanya pengaruh dari sistem pendidikan yang membentuk mentaliti
mahasiswa. Ternyata, pola atau sistem yang digunakan oleh Orde Baru
untuk melenyapkan idealisme serta daya kritis sangatlah ampuh dan
efektif, yaitu dengan menerapkan sistem kapitalis dalam bidang ekonomi
yang cenderung konsumtif. Di samping itu, sistem yang diterapkan dalam
pendidikan, yang berteraskan lulus pemeriksaan membentuk pola pikir
serta mentaliti mahasiswa, ternyata hanya menjadikan mereka sebagai
kuli.
Mulai
dari sekolah rendah, kita di ajar dengan ilmu yang bersifat dogma,
serta sejarah yang dimanipulasi sedemikian rupa. Itu pun kita terima
sebagai dogma. Dalam sistem pendidikan menengah pun, pada saat ini sama
saja seperti itu. Sebab, kita diajari untuk mempelajari ilmunya dengan
orientasi kerja. Jadi, kemerdekaan berfikir serta mempelajari ilmu
serasa dibelenggu sistem yang membawanya pada orientasi tersebut.
Sistem
yang diterapkan dengan kaku dan diperburukkan dengan kos pendidikan
yang tinggi membebani mahasiswa, mempunyai implikasi yang sangat besar
terhadap daya kritis mahasiswa serta idelismenya. Sebab, mahasiswa
dituntut secara penuh berfikir mengenai hal-hal akademis semata-mata
disamping tidak memikirkan soal-soal kerakyatan jika ingin terus
menuntut di perguruan tinggi.
Kondisi
seperti itu, menjadikan kampus benar-benar menjadi suatu menara gading
dan jauh dari jangkauan kalangan masyarakat kecil. Mahasiswa menjadi
kelas yang elite dan sama sekali tidak tersentuh dengan persoalan
kerakyatan.
Dari
sistem seperti itu, terbentuklah mentaliti mahasiswa yang saat ini kita
rasakan hedonis dan pragmatis, sebab kita dari awal dicetak untuk hidup
yang serba praktis dan tidak mencoba berdialog dalam setiap pemikiran.
Kita terjebak dengan hanya berdebat di bilik kuliah.
Jarang
sekali mahasiswa coba berfikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan,
atau pun bagaimana konsep memajukan bangsa di era globalisasi ini.
Mereka lebih suka diajak bersenang-senang untuk kepentingan pribadi yang
bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif (jika dibanding dengan
kegiatan ilmiah).
Melihat
fenomena tersebut, maka kita mempunyai kewajiban untuk mengubah
mentalitas yang hedonis dan pragmatis tersebut kembali kepada jati diri
mahasiswa, yang mempunyai idealisme tinggi. Salah satu jalan alternatif
untuk itu adalah dengan menghadapkan langsung mahasiswa pada
persoalan-persoalan kerakyatan.
Di
samping itu, supaya berjalan seimbang, fungsi perguruan tinggi sebagai
fungsi pengabdian masyarakat harus dilaksanakan tidak hanya terbatas
pada simbol, tetapi benar-benar real di dalam aplikasinya. Hal itu,
dimaksudkan untuk menolak pandangan kampus sebagai menara gading. Dengan
begitu, idealisme serta daya kritis mahasiswa yang terasa hilang akan
dapat dibangunkan kembali.
0 komentar:
Posting Komentar