BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa pengertian Gender ?
2. Apa konsep Umun gender ?
3. Bagaimana konsep psikologis mengenai Gender ?
4. Bagaimana pembentukan peran gender ?
5. Bagaimana cara pengukuran peran gender ?
6. Apa saja karakteristik peran gender ?
1.3 Tujuan
1. Mengerti dan mengetahui pengertian Gender.
2. Mengerti konsep umum gender.
3. Mengetahui konsep psikologis mengenai Gender
4. Mengerti dan mengetahui tahap-tahap pembentukan peran gender.
5. Mengetahui cara pengukuran peran gender.
6. Mengetahui karakteristik peran gender.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan respon terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert Bales). System nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan Gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis), akan tetapi merupakan divine creation.
Engels memandang masyarakat primitiv lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang sama dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan antara anak dan orang tua, istri dengan suami, yunior dengan senior dan sebagainya.
Dari teori-teori diatas, berkembang dan melahirkan aliran-aliran Feminisme berikut ini: Feminisme Liberal, Feminisme Marxis, Feminisme Radikal, Feminisme Sosialis, Feminisme Teologis.
Pandangan para ahli psikologi mengenai gender adalah menyangkut karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh individu, yaitu maskulin, feminine, androgini dan tak terbedakan. Masing-masing karakteristik kepribadian gender tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang mempengaruhi perilaku seseorang.
2.2 Konsep umum gender.
The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995 gender adalah pengelompokkan individu dalam tata bahasa yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis kelamin tertentu.
Gender menurut Illich (1998) merupakan satu diantara tiga jenis kata sandang dalam tata bahasa, yang kurang lebih berkaitan dengan pembedaan jenis kelamin, yang membeda-bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan diperlukan ketika kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata-kata benda dalam bahasa Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender maskulin, feminin dan netral.
Secara terminologis, gender digunakan untuk menandai segala sesuatu yang ada di dalam masyarakat “vernacular”[bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, alat-alat produksi dan sebagainya]. Secara konseptual gender berguna untuk mengadakan kajian terhadap pola hubungan sosial laki-laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda (Fakih, 1997).
Istilah gender berbeda dengan istilah sex atau jenis kelamin menunjuk pada perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis (kodrat), gender lebih mendekati arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial (interpensi sosial kultural), seperangkat peran seperti apa yang seharusnya dan apa yang seharusnya dilakukan laki-laki dan perempuan (Mansur Fakih, 1996).
Lips (1988), Abbott (1992), Mosse (1996), membedakan kata sex sebagai(ciri- ciri biologis, fisik tertentu jenis kelamin biologis) Sex merupakan pembagian 2 jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis (kodrat), individu dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. dan gender lebih mendekati arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial. Gender merupakan jenis interpretasi sosio-kultural, seperangkat peran yang dikontruksi oleh masyarakat bagaimana menjadi laki-laki (kuat, tegas, perkasa, kasar, dst) atau perempuan (taat, penurut, lemah, keibuan, penuh kasih sayang). Perangkat perilaku khusus ini mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya.
2.3 Konsep Psikologi mengenai Gender
Gender [para psikolog] di definisikan sebagai suatu gambaran sifat, sikap dan perilaku laki-laki dan perempuan (Sahrah, 1996). Suatu kepribadian dan perilaku yang dibedakan atas tipe maskulin dan feminin (Whitley dan Bernard dalam Kuwato, 1992), seperangkat peran gender tentang seperti apa seharusnya dan bagaimana seharusnya dilakukan, dirasakan dan dipikirkan oleh individu sebagai maskulin dan feminin (Santrock, 1998., Berry, dkk., 1999). Menurut Sandra Bem (1981a), tokoh sentral psikologi gender, gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya. Bem (1981a) mengelompokkannya menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan. Masing-masing klasifikasi tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang mempengaruhi perilaku seorang individu, individu dengan peran gender feminin misalnya berbeda perilaku prososialnya dengan realitas kehidupan sosial bila dibandingkan dengan peran gender maskulin, hal ini disebabkan karena individu dengan peran gender feminin memiliki karakteristik seperti: hangat dalan hubungan interpersonal, suka berafiliasi, kompromistik, sensitif terhadap keberadaan orang (Pendhazur dan Teenbaum, 1979), suka merasa kasihan, senang pada kehidupan kelompok (Sahrah, 1996), sebaliknya maskulin, yaitu kurang hangat dan kurang dapat mengekspresikan kehangatan, kurang responsif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan emosi (Bakan dalam Sahrah, 1996). Individu yang memiliki peran gender androgini memiliki tingkat kemandirian lebih tinggi dibandingkan dengan peran gender lainnya (Nuryoto, 1992).
Setiap kebudayaan menurut Santrock (1998), dan Berry (1999) mendefinisikan peran gender dari berbagai tugas, aktivitas, sifat kepribadian yang dianggapnya pantas bagi seorang individu (laki-laki dan perempuan). Sebelum pertengahan tahun 70-an gender diartikan sebagai suatu gambaran dari tingkah laku dan sikap-sikap yang secara umum telah disetujui seseorang sebagai suatu yang maskulin atau feminine saja. Laki-laki diharapkan selalu mempunyai sifat maskulin sedang perempuan mempunyai sifat feminin. Sedangkan Bem Sex Role Inventory (BSRI) mengenalkan peran gender androgini.
2.4 Teori Pembentukan Peran Gender
a. Teori Biologis.
Perbedaan peran gender ada hubungannya dengan aspek biologis, bahkan tidak lepas dari pengaruh perbedaan biologis (sex) laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis laki-laki dan perempuan adalah alami (nature), begitu pula sifat peran gender (maskulin dan feminin) yang dibentuknya. Perbedaan biologis menyebabkan terjadinya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, sifat stereotype peran gender antaara lakki-laki dan perempuan sulit untuk dirubah. Perbedaan fisik antara laki-lakidan perempuan memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibanding laki-laki (Megawangi, 2001)
b. Teori Kultural.
pembentukan peran gender bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Teori ini tidak mengakui adanya sifat alami peran gender (nature), tetapi yang ada adalah sifat peran gender yang dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi. Teori ini membedakan antara jenis kelamin (sex) konsep nature, dan gender konsep nurture. Sesuatu yang nature tidak dapat berubah, sedangkan peran gender dapat diubah baik melalui budaya maupun dengan teknologi. Pandangan teori ini dianut oleh sebagian besar feminis yang menginginkan transformasi sosial, sehingga perbedaan atau dikotomi peran gender laki-laki dan perempuan dapat ditiadakan (Megawangi, 2001)
c. Teori Freudian.
Menurut teori ini, anak belajar tentang peran gender dari lingkungan sekitarnya, karena anak mengidentifikasikan perlakuan orang tuanya. Anak laki-laki mengidentifikasi perlakuan ayahnya sehingga bagaimana perilaku seorang laki-laki. Demikian halnya anak perempuan yang belajar dari ibunya. Proses pengidentifikasian ini ditemukan anak dari perbedaan genital jenis kelamin.
d. Teori Belajar Sosial.
Teori belajar sosial meletakkan sumber sex typing pada latihan membedakan jenis kelamin dalam komunitas masyarakat, keutamaan dari teori ini adalah mengimplikasikan perkembangan psikologi laki-laki dan perempuan mempunyai prinsip umum sama dengan proses belajar pada umumnya. Jadi, jenis kelamin (seks) tidak dipertimbangkan istimewa; tidak ada mekanisme atau proses psikologis khusus yang harus dipostulasikan dalam menjelaskan bagaimana anak-anak menjadi sex typed. Karena telah termasuk penjelasan bagaimana anak-anak belajar perilaku sosial yang lain. Teori ini memperlakukan anak sebagai agen aktif yang berusaha mengorganisasikan & memahami dunia sosialnya.
e. Teori Perkembangan Kognitif.
Individu sebagai organisme aktif, dinamis serta memiliki kemauan berpikir. Individu mampu dan berhak membuat pertimbangan dan keputusan sesuai dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Sex typing mengikuti prinsip natural dan tidak dapat dihindari dari perkembangan kognisi. Individu bekerja aktif memahami dunia sosial mereka, dan akan melakukan kategorisasi terhadap dirinya sendiri (self-categorization) sebagai laki-laki dan prempuan. Dasar kategorisasi diri ini yang menentukan penilaian dasar. Seorang laki-laki misalnya akan stabil mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai laki-laki, kemudian ia akan menilai objek-objek yang berkenaan dengan jenis kelaminnya secara positif dan bertindak secara konsisten dengan identitas jenis kelaminnya.
f. Teori Skema Gender.
Teori ini(Bem, 1974), merupakan kombinasi dari teori belajar sosial dan teori perkembangan kognitif. Pengaruh lingkungan sosial dan peran individu keduanya dipadukan dalam pembentukan peran gender melalui skema gender. Teori skema gender berasumsi bahwa sex typing adalah fenomena yang dipelajari, oleh karena itu dapat dihindari atau dimodifikasi.
Dengan demikian skema gender merupakan sejumlah persepsi (kognisi) dan proses belajar individu terhadap atribut-atribut dan perilaku yang sesuai jenis kelaminnya atau menurut label yang diberikan komunitas sosial atau kebudayaan kepadanya (Bem, 1981b). Dengan teori ini dapat pula diketahui bahwa jenis kelamin tidak selalu berhubungan dengan peran gendernya.
Kebudayaanlah yang membuat gender yang menjadi kognisi penting di antara berbagai kategori sosial yang ada (ras, etnik, dan religiusitas). Mayoritas kebudayaan mengajarkan perkembangan individu yaitu: pertama, mengajarkan jaringan subtansi dari asosiasi-asosiasi yang dapat dilayani sebagai skema kognisi; kedua, mengajarkan dikotomi tertentu tentang laki-laki dan perempuan secara intensif dan ekstensif dalam setiap daerah pengalaman manusia. Manusia menunjukkan pentingnya fungsi perbedaan gender sebagai dasar perbedaan adanya norma, tabu dan susunan kelembagaan (Bem,1981a).
2.5 Pengukuran Peran Gender
a. Penyusunan BSRI
Orang pertama yang menciptakan alat yang dapat membedakan peran gender setiap individu dengan menggunakan skema gender adalah Sandra L. Bem [1974]. Ketika BSRI disusun, subjek penelitian hanya diklasifikasikan dalam 3 kelompok peran gender. Individu dikatakan mempunyai peran gender feminine jika ia memperoleh sifat feminine secara signifikan lebih tinggi daripada skor sifat maskulin. Jika skor maskulin lebih tinggi daripada sifat feminine maka individu tersebut disebut mempunyai peran gender maskulin. Sementara jika skor feminine dan maskulinnya kira-kira sama atau seimbang, maka individu disebut mempunyai peran gender androgini (Bem, 1974). Menurut definisi ini individu androgini adalah iindividu yang tidak membedakan sifat maskulin dan feminine dalam mendeskripsikan dirinya sendiri.
Cara yang dilakukan Bem (1974) tersebut diatas disebut sebagai model balance dan ini kurang dapat direplikasi dengan baik. Oleh karena itu, ia menyrankan lebi baiik menggunakan model adaptif saja dalam membedakan peran gender orang. Model adaptif (Spence,dkk,1975) ini memandang androgini hanya ada pada iindividu yang relative memiliki sifat maskulindan feminine yang tinggi, sedang individu yang relative rendah pada kedua skala dipandang tidak dapat diklasifikasikan atau tidak dapat dibedakan.
b. Pemilihan Skor dan Median
Pemakaian BSRI menggunakan median-split, yaitu membagi dua bagian atas dasar mediannya (presentil 50) yang akan dipergunakan uuntuk menentukan tinggi rendahnya skor maskulin dan tinggi rendah skor feminine. Dengan demikian setiap individu tanpa membedakan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) dapat dikategorikan pada salah satu dari empat peran gender yang ada (maskulin, feminine, androgini dan tak terbedakan). Kategori androgini adalah individu yang memperoleh skor tinggi pada skala maskulin dan feminine, Kategori maskulin yaitu apabila scor maskulinnya termasuk tinggi (di atas media maskulin), tetapi scor feminimnya tergolong rendah (di bawah scor feminim). Selanjutnya bila seseorang mempunyai scor pada maskulin rendah-feminim tinggi, maka di masukkan dalam kategori feminine. Akhirnya disebut sebagai kategori tak-terbedakan atau undifferentiated bila skor pada kedua skala maskulin dan feminine rendah (Bem,1981b, 1981c). Jadi peran gender tidak selalu berhubungan dengan jenis kelamin seseorang. Seseorang perempuan dapat saja dikategorikan berperan gender maskulin bila ia memiliki sifat-sifat maskulin yang domonan. Sebaliknya seseorang laki-lakipun dapat dikatakan berperan gender feminine, bila ia memiliki sifat-sifat yang secara stereotip diperuntukkan bagi seorang perempuan.
c. Validitas dan Reliabilitas BSRI
Salah satu instrument pengukuran peran gender yang dinilai memadai selama ini adalah BSRI. BSRI memiliki keunggulan-keunggulan khususnya yang menyangkut segi validitas dan realibitasnya, sementara kelemahannya dianggap kurang berarti (Spence dan Helmreich, 1979, Whithley dan Bernard, dalam Kuwato, 1992), disamping itu BSRI dinilai sebagai insrumen yang tidak tampak bias dan dapat dipergunakan dalam berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda (Pendhazur dan Tetenbaum).
2.6 Karakteristik Peran Gender
a. Maskulin.
Karakteristik peran gender maskulin menurut Berry, dkk (1999) dapat digambarkan sebagai sosok individu yang kuat, tegas, berani, dan semacamnya. Individu yang memiliki peran gender maskulin menurut Bernard, Hensel, Lubinsk, dan Dullas (dalam Kuwanto, 1992) mempunyai sifat independent, teguh, semangat ingin tahu kuat, harga diri dan kepercayaan diri yang teguh, keberanian mengambil resiko). Ada kemungkinan sifat tersebut terbentuk oleh kebiasaan dalam pekerjaan dan tugas-tugas yang bevariasi dan banyak mengandung tantangan dan polemic. Sifat lain yang menonjol adalah sifat asertif. Sifat independent terhadap llingkungan yang disertai sifat mandiri dan otonomi diri merupakan cirri maskulinitas (Harrinton dan Anderson, dalam Sahrah, 1996)
Sementara itu Raven dan Rubin (1983) menyebutkan lebih detail karakteristik peran gender maskulin yakni: agresif, bebas, dominant, objektif, tidak emosional, aktif, kompetitif, ambisi, rasional, rasa ingin tahu tentang berbagai peristiwa dan objek0objek nonsosial dan impulsive. Selain itu karakteristik peran gendermaskulin kurang dapat mengekspresikan kehangatan dan rasa santai,serta kurang responsive terhadap hal-hal yang berhubungan dengan emosi (perasaan)
Karakteristik sifat yang ada pada peran gender maskulin yang dikemukakan Sahrah (1996) yakni sebagai berikut: 1) komponen pertama adalah kemamppuan memimpin, 2) sifat maskulin, 3) rasionalitas. Kemampuan memimpin dijabarkan dalam sifat aktif, berkemauan keras, konsisten, mampu memimpin, optimistic, pemberani dan sportif. Sifat maskulin dijabarkan bersifat melindungi, mandiri, matang atau dewasa dan percaya diri. Komponen rasionalitas terdiri dari sifat suka mencari pengalaman baru, rasional, dan tenang saat mengahadapi krisis.
b. Karakteristik Peran Gender Feminin.
Menurut Pendhazur dan Tetenbaum (1979) dan Bernard (dalam Kuwanto, 1992) karakteristik perran gebder feminnin lebih memperllihatkan sifat-sifat yang hangat dalam hubungan personal, lebih suka berafiliasi dengan orang lain daripada mendominasi. Karakteristik peran gender feminine kebih sensitive dan tanggap terhadap keadaan yang lain, sikap hati-hati agar menyinggung perasaan orang lain, cenderung suka menyenangkan orang lain. Selain itu ingin selalu tampak rapi, lebih bersifat loyal dan pemalu. Karakteristik tersebut kemungkunan terbentuk dari kebiasaan dan tugasnya yang bersifat domistik.
Sahran mengungkapkan karakteristik peran gender feminine yaitu sebagai berikut:
1. Kasih sayang meliputi: memperhatikan keserasian, penyayang, suka merasa kasihan, tabah dan tulus hati.
1. Kelembutan perilaku meliputi: berbudi halus, hangat, hemat dan kalem serta suka hati-hati.
2. Sifat feminine neliputi: sifat peramah, membutuhkan rasa aman, memperhatikan etika dan rapi.
Menurut Bakan peran gender feminine berkaitan erat dengan kelompok dan penekanannya terdapat pada prinsip communion, kompromitas, suka membantu, berperasaan halus, tergantung dan senang pada kehidupan kelompok. Sebaliknya peran gender maskulin lebih menonjolkan kebebasan individu, dominasi, mandiri dan agresivitas merupakan ciridari karaktristik peran gender maskulin (Sahra, 19996)
c. Karakteristik Peran Gender Androgini
Perpaduan dari karakteristik maskilin dan feminine disebut androgini. Kombbinasi yang dimaksud yaitu apabbila sifat maskulin dan feminine sama tinggi. Indivvidu yang memiliki karakteristik androgini memiliki sifta maskulin dan feminine (yang tinggi) secara bersamaan.Misalnya individu dengan prean gender androgini dapat menunjukkan sifat dominance dan nurturance , rasional sekaligus penuh pengertian, asertif, sensitive dalam hubungan interpersonal, tergantung pada situasi yang pantas sesuai dengan berbagai perilaku. Karakteristik peran gender androgini disamping mamppu mengintegrasikan sifat maskilin dan feninin dengan baik juga paling dapat menyesuaikan diri dalam diri berbagai situasi dibamding peran gebder lainnya.
d. Karakteristik Gender Tak Terbedakan
Peran gender tak terbedakan ini rendah karakteristik maskulinitasnya dan sekaligus rendah karakteristiknya femininnya dan tidak memiliki karakkter yang menonjol sehingga dapat diperkirakan sangat rendah perilaku prososialnya dibandingkan dengan peran gender maskulin, feminine, dan androgini.
2.7 Sintesa Teori
Teori dan konsep Gender memang mudah nampaknya, namun aplikasinya bukan perkara gampang, butuh proses dan dukungan penuh serta partisipasi langsung dari masyarakat dunia, jika Gender memang menjadi pilihan utama untuk menyeimbangkan peran-peran individu dalam masyarakat global.
Berpijak pada kasus diatas sebagai contoh paling mutakhir kesetaraan gender belum berjalan optimal di tengah-tengah masyarakat”Indonesia”, betapa indahnya gagasan ini jika telah berjalan optimal, tentu akan berimbas positif pada pembangunan mental individu-individu, elemen terpenting bangsa Indonesia. Di mulai dari lingkup diri pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan dunia.
Feminisme lahir karena imbas dari gagasan gender,
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.
Sejauh ini persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum laki-laki. Sebagai mana yang diungkapkan oleh Faruq HT (1995) pendekar perempuan yang ada di goa hantu yang gelap gulita ia gambarkan perjuangan wanita demi kesetaraan Gender.
Dzuhayatin (1997) mengungkapkan konsep kekuasaan pada budaya patriachi adalah ekspresi kelaki-lakian dari sang penentu sehingga setiap laki-laki merefleksikan kekuasaan tersebut pada masyarakat yang lain. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan Gender. Diantaranya yaitu seperti fenomena tentang Amina Wadud ketika mengimami shalat jum’at dan berbagai fenomena lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Ketimpangan peran gender sebagai suatu permasalahan, serta sisi gelap perilaku-perilaku yang di kaitkan dengan maskulin tidak bisa hanya didekati melalui prespektif perempuan saja, namun juga harus secara empati melihatnya dari sisi pria.
Menurut teori dan paradigma konflik peran gender, sosialisasi yang berlebihan dalam hal norma-norma maskulin, di tengah lingkungan yang seksis dan patrichitlah yang berperan dalam hal peran gender, diskriminasi terhadap wanita serta timbulnya sisi gelap perilaku yang di kaitkan dengan maskulin seperti kekerasan terhadap wanita, perkosaan, pelecehan seksual dan lain-lain.
Konflik peran gender merupakan implikasi dari permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidaksadaran atau perilaku yang disebabkan oleh peran-peran gender yang dipelajari pada masyarakat yang seksis dan patriarchal.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, iput. 2009. kepribadian manusia. www.Blogger.com
Wijaya, andre. 2000. Poladasar watak manusia, www.Blogger.com
Suhendro, Racmat. 1982. Teori Gender. Surabaya : Gramedia
____________, Hukum dan Masyarakat., Bandung: Angkasa, 1981.
____________, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung : Alumni, 1980.
____________, “Membangun Keadilan Alternatif”; Kompas, Rabu, 5 April 1995.
____________, “Mengubah Perilaku dan Kultur Masyarakat”; dalam Kompas, 1 Juli 2002.
____________,“Indonesia Butuh Keadilan yang Progresif”; dalam Kompas, Sabtu, 12 Oktober 2002.
0 komentar:
Posting Komentar